“…Naga kedua yang diturunkan ke dunia manusia bertemu dengan seorang malaikat. Malaikat yang dapat memberinya kehidupan maupun kematian. Mereka akan saling bertukar nyawa. Dan setelah itu, naga akan bangkit dengan kekuatannya dan membawa dunia kembali pada masa kegelapan…”
Prolog, Valareth.
Apa yang menyebabkan manusia dapat bertahan?
Apa yang membuat aku dapat bertahan?
Apa yang tersisa pada saat terakhir?
Pada saat semuanya meninggalkanmu?
Pada saat semua meninggalkanku?
Mungkin pertanyaan itulah yang akan ditanyakan orang padaku saat mereka tahu siapa aku. Yang ditanyakan orang-orang yang benar-benar mengenalku, serta orang-orang yang mengetahui hal-hal yang telah kulewati. Pertanyaan-pertanyaan yang sepenuhnya tak dapat kujawab.
Daripada itu akan kuceritakan sebuah cerita. Cerita yang mungkin dapat menjawab seluruh pertanyaan itu. Karena semuanya datang bersamaan dengan kedatangan seorang gadis ke kota tua.
Hari itu ditandai dengan hujan badai, yang menandai hujan darah yang terjadi kemudian…
Shen Zai, provinsi Cheng Dong. Negara Svarca
148E. Belleraf.
Sebuah kereta kuda dari kayu melintasi hutan Shen Zai dengan perlahan. Kereta kuda itu tidak besar tapi cukup nyaman meskipun tampak sederhana. Kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda berwarna coklat tua. Beberapa orang tentara berkuda tampak mengiringi kereta tersebut dengan persenjataan lengkap. Sementara beberapa kuda lain berbaris di belakang sebagai penarik beban.
Seorang dari tentara berkuda itu, yang berpakaian lebih bagus dari pada yang lain memandang langit dengan cemas. Dia melihat awan mulai menghitam. Dia lalu mendekati kereta tersebut dan mengetuk pelan di sekitar jendelanya, seolah takut mengejutkan orang di dalamnya.
Tirai disibakan dan dua pasang mata menatap sang prajurit.
“Kita tidak dapat meneruskan perjalanan lebih jauh, nona. Badai akan datang lebih cepat daripada perkiraan ku. Lebih baik kita sekarang mencari penginapan.”
Sang wanita mengangguk sekilas. Lalu cepat-cepat menarik diri kembali. Pria tadi lalu menuju ke bagian depan kereta, lalu bicara pada kusirnya.
“Kita menuju ke barat laut sekarang. Badai akan datang lebih cepat daripada perkiraanku. Di tengah hutan ini ada penginapan yang cukup memadai untuk nona kita.”
Sang kusir mengangguk singkat.
“Kita bisa sampai kesana tepat waktu kapten?”
“Mudah-mudahan saja.”jawab orang yang ditanya singkat.
Mereka menemukan penginapan kecil di tengah hutan itu tepat saat sebelum badai menerjang. Hujan rintik-rintik sudah mulai turun. Kilat membelah langit disusul suaranya yang menggelegar saat mereka memasuki pintu penginapan.
Pemilik penginapan dengan senyum lebar keluar mendengar denting suara bel, tapi kemudian senyumya membeku saat melihat tentara-tentara yang bersenjata lengkap itu.
Sang kapten membuka tudung kepalanya, lalu berkata dengan suara berwibawa,
“Tenang saja kek, kami hanya ingin berlindung dari hujan badai ini. Kami tak akan mengapa-apakanmu.”
Dengan sikap yang masih kaku sang pemilik penginapan memaksakan senyumnya.
“Selamat datang tuan-tuan. Selamat datang di Shen-Zai Inn. Maafkan sikap kasarku tadi. Silakan masuk sebelm kalian semua membeku.”
Mereka masuk berduyun-duyun dan segera menuju meja yang terdekat. Pemilik penginapan itu melongo melihat satu-satunya wanita yang ada dalam rombongan kecil itu. Wanita itu memakai cadar yang menutupi wajahnya hingga hanya mulutnya saja yang terlihat. Warnanya merah lembut.
Pemilik penginapan yang sudah berumur itu mengata-ngatai dirinya sendiri dalam hati karena berani berpikiran seperti itu.
“Apa yang dapat kubantu?”tanyanya agak gugup.
“Makanan dan air, kalau itu tak merepotkanmu.”kata sang kapten.
Pemilik penginapan itu menghilang sejenak ke dalam. Lalu tak lama kemudian dia muncul kembali dan mulai menghidangkan roti hangat dan minuman.
“Maafkan kesederhanaan ini. Akhir-akhir ini jalanan sudah tidak lagi aman jadi aku semakin jarang perhi ke kota untuk mengisi kembali persediaan makananku. Lagipula, tidak banyak orang yang menginap disini lagi seperti dulu.”
“Ini sudah lebih dari cukup kek. Kamilah yang seharusnya minta maaf karena telah merepotkanmu.”kata sang kapten.
Pemilik penginapan itu lalu mengambil tempat di seberang sang kapten.
“Kalau boleh kutahu darimana kalian berasal? Aku telah melihat berbagai macam seragam prajurit sampai aku dapat menebak darimana mereka berasal, tapi aku belum pernah melihat seragam kalian.”
Sang kapten meletakkan gelasnya yang telah kosong di atas meja.
“Kami dari Klan Minamoto, itu menjelaskan sesuatu?”
Sang pemilik penginapan menegakan duduknya dengan begitu cepat.
“Ja…jadi…”gagap pemilik penginapan.”…wanita…gadis ini, nona Aizawa Minamoto?”
“Benar.”kata sang kapten.”Namaku sendiri Kojiro Oyamada.”
“Puji Tuhan.”katanya.”Jika tahu aku akan kedatangan tamu yang begitu istimewa aku pasti akan menyajikan sesuatu yang lebih istimewa.”
“Jangan merendah pada sesuatu yang tampak baik pada permukaannya saja tuan pemilik penginapan yang terhormat. Anda sama sekali belum mengenal kami.”
Pemilik penginapan terperangah selama beberapa menit mendengar ucapan nona Minamoto yang tajam itu.
“Ma…maafkan aku jika aku menyinggung…”
“Chichioya?”ujar suara di belakang mereka.
Semua orang di ruangan itu menoleh pada sumber suara itu. Seorang gadis kecil tampak mengintip dengan takut-takut.
“Ah…Sakura kemarilah. Ayo beri salam pada tamu-tamuku.”
“Siapa mereka chichioya?”
“Mereka adalah tamu kehormatan kita. Mereka datang dari Klan Minamoto di negara Vloskova. Negara indah di utara.”
Sakura menguap di pangkuan ayahnya. Sama sekali tak tertarik mendengar keterangan ayahnya.
“Beri salam pada mereka Sakura”perintah ayahnya.
“Kombanwa, semuanya…”
Rombongan yang dipimpin Kojiro membalas salamnya sambil bergumam.
“Putrimu?”tanya Kojiro
Pemilik penginapan membelai kepala gadis cilik itu dengan sayang.
“Benar. Kami terpaksa tinggal disini berdua saja. Kurasa itu agak berat untuknya. Rasanya aku jadi agak tidak adil padanya.”
“Kemana ibunya?”
Pemilik penginapan menutup kuping anaknya dengan kedua tangannya, baru kemudian menjawab.
“…ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu.”
“Meninggal?”ulang Kojiro
Pemilik penginapan menghela nafas panjang.
“Mungkin lebih mudah bagi semua orang jika benar itu yang terjadi.”
Pemilik penginapan tertawa parau.
“Tapi kenyataannya tidak.”Ujar nona Minamoto.
Pemilik penginapan menatap nona Minamoto lurus-lurus.
“Benar nona. Kenyataannya tidak. Empat tahun yang lalu jalan besar si tepi hutan ini dibangun, langsung menuju negara tetangga. Semua gembira pada awalnya.
“Sampai ketika mereka kekurangan wanita untuk para tentara yang bekerja disana. Pada akhirnya yang mereka lakukan tidak membuat kami gembira lagi. Atas nama negara mereka mengambil istri-istri kami untuk dijadikan budak bagi nafsu mereka. Dan kami tak pernah melihat mereka lagi.”
Pemilik penginapan mengangkat bahunya dengan sikap miris.
“Lihat, kan? Sudah kubilang akan lebih mudah jika istriku hanya mati saja.”
Keheningan menyusul kata-katanya. Hanya desah nafas Sakura yang tertidur di pangkuan ayahnya saja yang terdengar.
“Sudah malam.”kata pemilik penginapan.”Akan kusiapkan kamar untuk kalian. Untuk nona Minamoto, silakan gunakan kamar pribadi di lantai tiga. Kamar itu adalah kamar tunggal di lantai tersebut.”
Malam turun dengan cepat sementara badai makin menggila di luar. Segera setelah memastikan bahwa nona Minamoto dapat beristirahat dengan layak, kapten Kojiro baru dapat berbaring di atas futonnya. Lama setelahnya, baru dia dapat tertidur sambil tetap mendengarkan suara-suara yang mungkin tak biasa.
Pagi-pagi sekali badai telah mereda, digantikan dengan hujan rintik-rintik. Para prajurit sibuk melakukan persiapan untuk keberangkatan. Ketika matahari akhirnya benar-benar menampakan diri, hujan badai kemarin tidak lagi menampakan sisa-sisanya. Rombongan itupun bersiap melanjutkan perjalanannya.
Nona Minamoto baru saja akan menaiki keretanya ketika dia melihat Sakura di balik punggung ayahnya. Dia lalu berjalan mendekatinya.
“Aku punya sesuatu untukmu.”katanya. Dia lalu melepaskan kalungnya.”Ini. Jagalah baik-baik. Itu adalah kalung pemberian nenekku. Semoga kau berbahagia dengan hidupmu kelak”
Kojiro memperhatikannya dengan raut wajah cemas.
“Nona, kenapa anda memberikan kalung itu padanya? Itu adalah satu-satunya yang tersisa dari peristiwa kecelakaan itu, kan?”
“Aku ingin dia bahagia dalam hidupnya. Karena aku yakin aku tidak akan bahagia dengan hidupku.”ujar nona Minamoto setengah berbisik.
Saat sang kapten masih tercenung, nona Minamoto telah menaiki keretanya. Kojiro akhirnya menaiki kudanya, tapi kemudian pemilik penginapan memanggilnya kembali.
“Gadis itu…nona Minamoto…suruh dia berhati-hati pada tuan Hinomura. Dia tak memiliki belas kasihan pada siapapun.”
Kojiro memandangnya sejenak, lalu mengangguk dan menghela kudanya menuju Ibukota kerajaan Svarca.
Seorang pemuda tampan dengan kudanya dengan tenang menghalangi jalan mereka. Pria itu tinggi dan cukup langsing, maskipun sama sekali tak nampak kurus. Sebuah katana panjang dan langsing terselip di belakang punggungnya.
Sekali lihat saja, Kojiro langsung mengetahui dua hal. Yaitu bahwa pemuda itu baru berusia awal dua puluhan, dan bahwa dia pemain pedang yang tangguh.
“Kalian terlambat.”katanya tiba-tiba.”Sudah empat hari aku menunggu disini. Tepatnya 52 jam 27 menit aku menunggu kalian.”
“Maaf, tapi boleh kami tahu kau siapa? Aku tak terbiasa bicara dengan orang asing.”sahut Kojiro ketus.
“Namaku Wonsul, ketua pasukan khusus Yotsunheim sekaligus tangan kiri tuan Akira Hinomura. Beliau telah menunggu kedatangan kalian. Mari! Aku akan mengawal kalian sampai ke gerbang ibukota Sentinelbrits.”
Sebelum Kojiro sempat menanyakan apa-apa lagi, Wonsul sudah memutar kudanya dan beranjak pergi.
“Hei! Tunggu dulu. Kau mau kemana? Lagipula kau salah arah. Gerbang kota ada disana.”seru Kojiro.
Tanpa menoleh, pemuda yang dipanggil Wonsul itu menjawab,
“Aku sudah tinggal di sini lebih lama daripada anda, tuan Oyamada. Percayalah pada apa yang kulakukan.”
“Mengapa aku harus percaya pada orang yang baru saja kutemui tuan Wonsul? Dan dari mana aku tahu kalau kau benar-benar utusan tuan Hinomura?”
Wonsul menoleh sepintas, lalu berkata dalam nada datar,
“Kau masih hidup. Itu buktinya.”
Sesaat, Kojiro hanya bisa tercengang mendengarnya.
“Jangan khawatir tuan Oyamada. Kau lebih aman bersamaku daripada di luar sana. Apalagi kau membawa barang yang berharga.”
“Jangan pernah menyebut nona kami ‘barang’”ujar Kojiro berang.”Dan kenapa kita harus lewat ke…hutan belukar seperti ini? Kereta kudanya tak dapat lewat.”tukasnya
Wonsul menoleh sekilas, lalu berkata.
“Suruh nonamu turun. Aku juga harus memastikan kalau dia adalah Aizawa Minamoo yang asli.”
Kojiro sudah akan meledak ketika terdengar suara Aizawa,
“Aku akan segera turun tuan Wonsul.”
Setelah itu, Wonsul mendengar suara langkah kaki mendekatinya, dan Aizawa Minamoto sudah berdiri di hadapannya. Tingginya hanya sampai leher pemuda itu sehingga gadis itu harus mendongak memandang padanya. Meskipun begitu, Wonsul dapat merasakan energi feminin yang hangat dan manis yang melingkupi gadis itu.
Seumur hidupnya, hanya dua orang yang mampu membuat pemuda itu mengalihkan tatapan matanya. Yang pertama adalah Akira Hinomura dan yang kedua adalah gadis yang kini ada di depannya.
“Aku tak dapat membuka penutup wajahku, tapi aku memiliki kata-kata yang dapat meyakinkan majikanmu tentangku. Jika aku adalah naga…”
“…Maka aku adalah malaikat. Itu juga yang dikatakan oleh tuanku. Mari nona Minamoto, tolong ikuti aku.”kata Wonsul dengan hormat.
Aizawa membalas dengan sedikit membungkuk. Kojiro terpaksa menahan geramnya melihat semua itu.
“Ini adalah istana Sindar. Istana yang dipakai untuk keperluan-keperluan umum.”kata Wonsul, masih dalam nada datar.
Aizawa memperhatikan pintu istana yang dihiasi dua buah patung gargoyle yang, konon katanya, dapat hidup jika diperintahkan dengan mantera yang tepat.
“Dari sini anda harus melanjutkan sendirian nona Aizawa. Lurus saja terus dan kau akan melihat ruang pertemuan utama. Tuan Hinomura sudah menunggu anda disana.”
“Dia tidak akan sendirian!”ujar Kojiro panas
“Stop kapten Kojiro. Seperti kata tuan Wonsul, dari sini aku akan melanjutkan sendirian.”
“Nona…”
“Aku akan baik-baik saja…”
Kojiro menurunkan bahu pertanda menyerah. Aizawa memantapkan langkah, lalu masuk ke dalam.
Ruangan di dalam temaram oleh cahaya obor yang hanya beberapa. Kesan pertamanya pada tempat ini suram, misterius, tapi menyimpan keagungan sendiri.
Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya dia sampai di ruang pertemuan utama, dan untuk pertama kalinya bertatapan langsung dengan nemesis sekaligus calon suaminya, Akira Hinomura.